Polemik Usia Baligh Sebagai Kriteria Pemimpin Dalam Fikih Islam

Penulis

  • Ahmad Ahmad IAIN Parepare, Indonesia.
  • Agus Muchsin IAIN Parepare, Indonesia.
  • Muh Nur Hidayat IAIN Parepare, Indonesia.
  • Usman IAIN Parepare, Indonesia.
  • Haidir Hasba IAIN Parepare, Indonesia.

DOI:

https://doi.org/10.30651/mqsd.v14i3.27850

Abstrak

Penelitian ini mengkaji polemik usia baligh sebagai kriteria kepemimpinan dalam fikih Islam. Dalam fikih klasik, baligh menandakan seseorang menjadi mukallaf, ditunjukkan oleh tanda biologis atau batas usia 15-18 tahun, sebagaimana dijelaskan dalam kitab seperti Safinatun Najah dan Al-Fiqh ‘Alā Al-Mażāhib Al-Arba’ah. Namun, penerapannya sebagai syarat kepemimpinan memicu perdebatan karena perbedaan pandangan mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali, terutama mengenai kecukupan baligh atau perlunya kualifikasi tambahan seperti kematangan intelektual, keadilan, dan kemampuan manajerial. Menggunakan pendekatan kualitatif berbasis studi kepustakaan, penelitian ini menganalisis teks fikih klasik, ayat Al-Qur’an (misalnya, Surah An-Nur: 59), hadis, dan literatur akademik modern. Hasil penelitian menunjukkan bahwa baligh merupakan syarat dasar, tetapi kepemimpinan dalam konteks politik modern, seperti diatur dalam UU No. 7 Tahun 2023 di Indonesia, menuntut kematangan holistik yang mencakup aspek intelektual, emosional, dan spiritual. Penelitian ini berkontribusi pada pengembangan diskursus fikih dengan kebutuhan kepemimpinan kontemporer, menekankan reinterpretasi baligh dalam kerangka maqashid syariah untuk menjawab kompleksitas tata kelola modern. Rekomendasi meliputi pendidikan pra-baligh untuk membentuk kesiapan moral dan intelektual serta penelitian lanjutan guna harmonisasi kriteria fikih dengan sistem demokrasi.

 

Kata Kunci: Fikih Islam, Usia Baligh, Kriteria Kepemimpinan, Kematangan Usia, Politik.

Unduhan

Diterbitkan

2025-11-09