Tindak Tutur dalam Upacara Etnis Tionghoa Peranakan
Abstrak
ABSTRAK
Penelitian ini membahas tindak tutur Pandita dan kedua mempelai dalam pernikahan etnis Tionghoa Peranakan di Klenteng Kebon Jeruk, Semarang. Dalam pengumpulan data, peneliti melakukan perekaman dan observasi partisipan dalam pernikahan di Klenteng Kebon Jeruk, Semarang. Dari analisis ditemukan bahwa semua tindak tutur ada dalam peristiwa komunikasi pernikahan ini. Walau Pandita dan kedua mempelai memiliki kapasitas berbicara yang sangat berbeda. Urutan tindak tutur partisipan utama yang terbanyak yaitu Pandita, mempelai pria dan mempelai wanita. Pandita berperan dominan dilihat dari kuantitas tindak tutur. Peran Pandita dalam upacara sebagai pengendali terlihat jelas dari jumlah tindak tutur direktif yang muncul. Makna dari tindak tutur tersebut menginstruksi kedua mempelai untuk mengikuti apa yang dikatakan Pandita. Mempelai pria dan wanita memiliki porsi bicara yang sama dan terbatasi terlihat dari jumlah tindak tutur mereka. Upacara pernikahan etnis Tionghoa peranakan mengakomodasi Pandita untuk mengambil kendali penuh atas pernikahan etnis tersebut dan sekaligus mengontrol tindak tutur mempelai. Kedua mempelai menggunakan tindak tutur komisif berjanji untuk hidup dengan rukun dan menaati ajaran Budha dalam pernikahan dan asertif yang memaknai respons tindak tutur direktif Pandita.
Kata kunci:Â Penutur, tuturan, pernikahan,tindak tutur ilokusi
ABSTRACT
This study discusses the speech acts of a priest and the bride and groom in a Chinese ethnic marriage at Kebon Jeruk Temple, Semarang. In collecting data, researchers conducted the recording and observation of participants in marriage at the Kebon Jeruk Temple, Semarang. From the analysis, the researchers find that all speech acts existed in this marriage communication event, although the priest and the bride and groom have a very different speaking capacity. The main sequence of speech acts of the main participants was the priest, bridegroom, and bride. Priest plays a dominant role in terms of the number of speech acts. The role of the priest in the ceremony as a controller is evident from the number of directive speech acts that arise. The bride and groom have the same portion of speech and are limited in their number of speech acts. The Chinese descents’ wedding ceremony accommodates the priest to take full control of the ethnic marriage and at the same time, control the speech acts of the bride and groom. The bride and groom use commissive and assertive speech acts, which are responses to the priest's directive speech acts.
Keywords:Â speaker, utterance, marriage, speech act, illocution
Referensi
Austin, J.L. (1955). How to Do Things with Words. New York: Oxford University Press
Djajasudarma, F. (2006). Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Refika Aditama.
Kurniasih, E. (2013). Peragaan Simbol dalam Upacara Ngeuyeuk Seureuh. Semarang: Universitas Diponegoro.
Searle, J.R. (1979). Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts. Cambridge: Cambridge University Press.
Spradley, J.P. (1997). Metode Etnografi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Vandervaken, D. (1990). Meaning and Speech Acts. Cambridge: Cambridge University Press.
Yule, G. (1996). Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.
Yustiana, Pramawati. (2016). Komponen Tutur dalam Presentasi Bisnis MLM Tianshi. Semarang: Universitas Diponegoro.
Penulis
Hak Cipta
- Hak cipta terhadap artikel yang diterbitkan di Stilistika: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra adalah penerbit atau Stilistika: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra.
- Penulis harus menyerahkan hak cipta pada jurnal dengan menandatangai dan mengirimkan form penyerahan hak cipta (template) melalui email stilistika@um.surabaya.ac.id.
- Penulis dapat menyebarluaskan artikelnya melalui media manapun.
Lisensi
Setiap karya yang ditulis penulis dilisensi dengan Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License.